Catur, Bilyar, dan Pengaruh Ibu





Oleh:  S u h u n a n   S i t u m o r a n g





 C  atatan iseng ini kusampaikan khusus untuk kalian yang disebut ibu, mama, mami, inong, emak, dan calon ibu. Betapa ibu (bagi anak) amat berpengaruh, aku salah satu "viktimnya," semoga berguna bagi kalian dalam rangka mendidik anak. Nggak terlalu serius, makanya kusebut catatan iseng. hehehee

Begini, inong (ibu dalam bahasa Batak) dulu sering mengatakan pada kami anak-anaknya bahwa main catur, bilyar, dan kartu (judi) itu, jangan pernah dimulai. Bisa kecanduan dan akan jadi pemalas, enggak produktif, juga bakal merusak masa depan.

Catur itu, kata ibu, membuat orang malas belajar dan bekerja; bisa seharian di kedai kopi menghabiskan waktu, lupa segalanya. Bilyar itu permainan preman, "japang-japang" (julukan bagi preman di kampung kami, dulu), dan bila sudah jadi japang-japang, selesailah masa depan. Tak ada masa depan yg gemilang bagi japang-japang, dan pemalas.

Sementara permainan kartu, bisa membuat tumbuh bakat penjudi, dan itu amat buruk. Apapun bisa dilakukan dan dikorbankan seorang penjudi, membuat istri dan anak menderita--selain malu. Jadi, jangan main catur, bilyar, dan kartu--meskipun sekadar permainan anak-remaja. Begitulah, di antara anak lelakinya yg kena indoktrinasi si inong, aku ternyata yg paling merasuk. Catur, bilyar, tak lagi mampu menarik minatku utk dipelajari cara memainkan, apalagi ikut memainkan.

Di kampung kami, saat itu, ada satu tempat bilyar, namun hanya orang dewasa yang boleh ke sana, anak-anak menonton dari luar dng mengintip dari jendela-jendela dan pintu. Tetapi catur, hampir semua kedai kopi (yg juga merangkap rumah makan) dipenuhi pemain catur, para pria dewasa, PNS maupun partikelir smile emoticon Memang, bisa berjam-jam para bapak-bapak itu di "kode" (kedai) main catur. Betah banget, heran juga aku. Mereka bisa duduk di kursi berjam-jam, nggak khawatir ambeien atau wasir kayaknya. Bahkan manja-manja. Bila hujan turun harus dijemput anak-anak mereka sembari bawa payung tongue emoticon , sering membuat acara makan malam di rumah masing-masing tertunda krn si bapak belum pulang dari kedai; sementara anak-istri telah menunggu seraya menahan lapar, udara dingin.

Dampak buruk penjudi (walau cuma kecil-kecilan di kedai atau saat ada tetangga yg melahirkan, namanya "maranggap" atau "melek-melekan", suatu tradisi di kampung kami) pun terasa. Bila si bapak kalah, sering marah-marah di rumahnya. Guru-guruku saat SMP pun ada yg mengerikan bila kalah main judi, suka menampar murid yg tak bisa mengerjakan soal di papan tulis, salah satu Pak SS, mantan guru SMP 1 Pangururan. Sangaaarrr, kejam, kayak monster pokoknya. Bukannya kami makin pintar aljabar (matematika), jadi ketakutan malah, kaki gemetaran bila disuruh ke depan mengerjakan soal.

Peringatan inong pun, saat itu, semakin relevan dan faktual: catur, bilyar, judi, hanya menimbulkan mudharat ketimbang manfaat. Aku pun tak tertarik. Jadilah aku seorang yg tumbuh dng tuna-catur, tuna-bilyar, tuna-judi (masih syukur sih, ketimbang tuna susila).

Tetapi, setelah aku meninggalkan inong dan tumbuh dewasa, bahkan mencapai usia lebih setengah abad, aku merasa bahwa tak seharusnya tunduk begitu saja dng semua ajaran atau peringatan inong. Rugi juga, ternyata. Sering kali aku diajak kawan, bahkan anak lelakiku, main catur namun aku tak bisa meladeni. Pun main bilyar yg berguna sbg media relaksasi atau penyalur kejenuhan. Sebelum diancam hukum pidana, main kartu, sesekali memang masih kulakukan dng kawan atau sanak-saudara: qiu-qiu, joker karo, sementara main 'leng' aku tak ngerti.

Ada kejadian atau perbuatanku yg dulu (semasa kuliah) dibenci kawan-kawan. Suka jahil bila mereka main catur di taman kampus atau di kos-kosan mereka. Ketika mereka tengah full konsentrasi memelototi bidak-bidak catur dan pertarungan (katanya) lagi sengit, pura-pura aku ikut memerhatikan. Tanpa mereka duga, tiba-tiba kuberantakin, lalu berlari seperti gaya pelari marathon, ...kabuuurrrr. hahahah

Segala sumpah serapah lantas mereka umpatkan; aku tak peduli; seru malah.... melihat mereka gondok, kesal, marah. hahahaha

Ketika anak lelakiku (masih SD dia saat itu) mulai ikut menyukai catur krn pengaruh teman sekolahnya, diam-diam dia sisihkan uang jajannya utk beli catur. Diajaknyalah aku main catur krn dikira sebagai orang dewasa, Batak pula, pasti bisa main catur. grin emoticon Langsung kulayani "attong," dan dng gaya poropessional pemain catur aku menyusun bidak-bidak catur setelah melihat susunan "pemain" yg dilakukannya. Persis yg dia lakukan kutiru, di mana posisi pion, raja, kuda, berdiri...ya di situ kuletakkan.

Lalu permainan dimulai. Dia melangkahkan pion, kulakukan sebagaimana yg dia lakukan. Begitu seterusnya, apa yg dia lakukan, kutiru saja. Bidak-bidakku disikatnya, kusikat pula bidak-bidak caturnya, persis seperti yg dia lakukan. Lama-lama dia mengernyitkan jidat, seperti curiga, krn alur permainan tak seperti yg dipahaminya, dan aku tenang setenang mungkin macam pecatur kawakan. hehehehehe

"Bapak ngerti gak, sih?" tanyanya setelah melihat permainanku yg mulai sporadis, setelah pionku mengembat rajanya dengan ganas.

"Kenapa, bang?" kataku seolah tak bersalah,
"Apa yg salah emang?"
"Ogy jadi bingung....," ucapnya sambil melihat mukaku penuh curiga.
"Ngerti catur nggak sih, Pak?"

Seketika tawaku meledak, lalu beranjak melampiaskan ngakak. Dia kesal, caturnya langsung dia rapikan, dibawa ke kamarnya, sambil marah menutup pintu. Ibunya nanya lalu kujelaskan, geleng kepala dia, lalu mengajak si abang main catur--secara dia ngerti dan lumayan jago main catur krn semasa remaja di Sibolga sering diajak main catur oleh abang dan adik-adik lelakinya; alangkah kontradiksinya dng suaminya. Akhirnya aku minta di-sory-kan dan menjelaskan kenapa bapaknya tak bisa main catur, terutama krn "doktrin" ompung borunya, dahulu kala. Sejak itu, aku nggak dianggapnya lagi bila urusan catur, benar-benar under estimate dia, ibunya saja sesekali diajaknya bercatur ria. Nah, betapa kuat pengaruh (omongan) ibu pada anak, akulah contohnya--walau kemudian kusesali kok sedemikian lugunya aku menerima.

Bahkan dalam urusan pasangan hidup pun aku patuh pada si inong. Sejak aku mulai masuk ke usia dewasa telah dia ingatkan agar aku menikah dng boru Nainggolan, who ever, pokoknya Nainggolan, seperti marganya. Meski berkali kutawar dan mengajaknya negosiasi smile emoticon agar diperkenankan menikah dng wanita lain, termasuk kawin dng wanita bule, tetap kukuh dia dng kemauannya. Susah juga kupenuhi kemauannya, barangkali krn itu pula aku menikah di usia menuju 31 thn. Tetapi, meski pengaruh Inong begitu kuat pada diriku, pengakuannya, akulah anaknya yg berani menjahili dan memprotesnya.

Awal-awal tahun perkawinanku (dng boru Nainggolan pilihanku, bukan pilihannya), manakala dia ke Jakarta dan mampir inap di rumahku, ia kadang komplein krn si nyonya nggak berbakat masak-memasak. Selain kelelahan krn saat itu dia kerja di satu bank swasta, boru Nainggolan muda itu memang jujur mengakui: nggak suka kegiatan dapur, malas belanja ke pasar, namun akan senang bila kutemani memasak atau belanja ke pasar becek, pun kuajari cara menggoreng, menyambal, dsb. (Kami dididik Inong memasak sejak kecil, wanita-pria).

Suatu Sabtu pagi, Inong mengkomplein menantunya, karena katanya, mengulek sambal atau bumbu pun nggak tepat gerakan tangan parumaennya (menantu) itu saat terjadi "kursus mendadak" memasak arsik ikan mas arahan si Inong.

Spontan kubilang pada si Inong (dlm Bhs Batak): "Eh, Inong... jangan gitu. Dia istriku lho, nggak ada yg berhak mengoreksi atau mengkompleinnya selain aku. Inong kan istrinya bapak, ya bapaklah yg berwenang mengoreksi Inong, bukan aku. Kekurangan-kekurangan istriku, ya tanggung jawab dan resikoku. Kekuranganmu ya resiko dan tanggung jawab suamimu yg memilihmu jadi estrinya."
"Eh...babamma bah, sona dia hudok...Paloing-loing ma tutu niolimon..." (Eh, sembarangan. Aku nggak omong apa-apa kok, ke bojomu ini. Ya sudah, manja-manjain saja dia), ujarnya sambil menahan tawa.
"Iya, dia istriku. Nggak ada seorang pun kuperbolehkan membuat hatinya susah. Hanya aku..."
"Ollo bolloh..."
Sementara, boru Nainggolan muda itu hanya senyum-senyum sambil meneruskan ulekannya. Mungkin dalam hatinya, dia berkata: "Gokil juga nih laki gue..." Hahahahaha...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

UMPASA DOHOT UMPAMA NA MARRAGAM

Raja Parhata di Batak (Pembicara dalam Adat Batak)

Lirik Lagu Batak Esterlina Beserta Kunci Gitar (Chord)